Tuesday, January 8, 2019

Asas Praduga Tak Bersalah Menurut Logika Hukum


Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence) merupakan asas yang dapat mendukung terlaksananya perlindungan hak asasi manusia (HAM) agar tetap bisa dirasa oleh setiap warga negara republik Indonesia. Yang mana setiap warga negara memiliki hak-hak yang harus terpenuhi dan harus dipenuhi dengan tetap mempertimbangkan aturan-aturan yang berlaku, sebagai bentuk implementasi hukum yang sesuai dengan kultur bangsa Indonesia. Perlindungan HAM di Indonesia selalu menjadi perhatian khusus, sebab di negara ini memiliki banyak kultur perbedaan dari berbagai aspek yang masing-masing memiliki cara berbeda untuk melaksanakan kebiasaannya, dan hal tersebut menjadi tanggungjawab negara agar terciptanya suasana yang kondusif.

Asas praduga tak bersalah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum  KUHAP butir ke 3 huruf C, yaitu :
"Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap."
Sedangkan dalam UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yaitu:
"Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap." 
Kedua UU tersebut menjelaskan asas praduga tak bersalah secara eksplisit. Artinya seorang tersangka dan terdakwa tetap harus dipandang sama di mata hukum, hal ini juga mendukung terlaksananya perlindungan HAM terhadap setiap warga negara, yaitu hak mendapatkan perlakuan adil dalam hukum (Procedural Right). Dengan demikian para penegak hukum dari semua instansi tetap harus menghormati tersangka dan terdakwa dengan sebaik-baiknya, namun tidak membatalkan proses hukum yang sedang berlangsung.

Asas praduga tak bersalah telah menjadi kepastian hukum bagi para tersangka dan atau terdakwa guna mendapatkan hak-haknya yang harus terpenuhi, yaitu dengan tetap menghormati dan menempatkan kedudukan harkat dan martabat pada manusianya sebagai subjek bukan objek. Kendati demikian, asas praduga tak bersalah tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum agar seseorang atau lebih dapat terbebas dari segala tuntutan hukum. Asas tersebut hanya memberikan perlindungan hak seseorang untuk dipandang tidak bersalah, sebelum adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan seseorang terbukti bersalah.

Proses pemeriksaan hukum pidana terhadap subjek hukum tetap harus dapat dilaksanakan tanpa ada pengecualian, selama itu masih menjadi kepentingan hukum. Sekalipun seseorang yang diperiksa dianggap tidak bersalah, namun prosedur hukum yang berlaku tetap harus dijalankan guna mendapatkan kepastian hukum. Apabila asas praduga tak bersalah dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk bisa terbebas dari segala tuntutan hukum, maka setiap subjek hukum tentu akan menjadi kebal terhadap hukum (tidak dapat di pidana).

Itu sebabnya, siapapun yang dianggap perlu untuk dapat memperoleh suatu kepastian dalam hukum terkait peristiwa hukum (pidana) yang terjadi, maka segala prosedur hukum tetap berjalan sebagaimana fungsinya. Dengan tetap mengedepankan hak tersangka/terdakwa untuk tidak diasumsikan sebagai orang yang bersalah.

Peran Desa Sebagai Sendi Kemakmuran Bangsa


Selama ini keberadaan desa selalu menjadi tempat yang masih kurang diperhatikan, baik infrastrukturnya maupun kearifan lokalnya. Banyak desa-desa dari berbagai daerah di Indonesia masih jauh tertinggal dari kata layak untuk akses ke tempat itu sendiri, seperti infrastruktur yang masih belum memadai dan fasilitas-fasilitas yang dapat menunjang kelangsungan hidup masyarakat untuk menjalankan aktivitasnya juga masih terdapat kekurangan. Pembangunan-pembangunan terkini dan terbarukan menjadi prioritas pada kota-kota dari setiap daerah, terutama di Ibukota atau pulau Jawa.

Tidak dipungkiri, bahwa keberadaan kota memang selalu menjadi pusat perhatian bagi para wisatawan baik lokal maupun interlokal. Kota selalu dijadikan tujuan utama bagi siapapun yang hendak mengisi waktu liburannya, atau bahkan ada yang menjadikannya sebagai tempat tinggal (dari kampung pindah ke kota). Hal tersebut tentu tidak terlepas dari pengertian bahwa kota merupakan suatu tempat yang cukup potensial daripada di kampung/desa. Selain itu letak pusat pemerintahan juga menempatkannya di kota, selain untuk memajukan kota itu sendiri juga memudahkan fasilitas pelayanan publik bagi masyarakat di daerahnya masing-masing, kota dianggap tempat yang setrategis guna melaksanakan segala aktivitas pemerintahan untuk memajukan dan mengembangkan suatu daerah. Tak heran, jika kota selalu mendapatkan perhatian lebih daripada desa yang terpencil.

Meskipun demikian, bahwa keberadaan kota telah menjadi barometer berkembangnya suatu daerah, namun kesemuanya itu tak lepas dari peran desa yang juga selalu memberikan kontribusinya untuk kemakmuran bangsa. Bagaimana tidak, daerah yang paling banyak menghasilkan kebutuhan primer yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas secara kontinu berasal dari desa. Hasil bumi yang berlimpah, kekayaan alam yang berlimpah, hampir kesemuanya diproduksi di desa, dan ini yang dikatakan sebagai desa menjadi sendi kemakmuran bangsa. Artinya, desa lebih produktif daripada di kota.

Namun pada kenyataannya, hingga kini masih banyak desa-desa yang jauh tertinggal terutama aksesibilitas yang belum memadai, padahal sangat produktif akan hasil buminya. Hal tersebut tentu akan menghambat pertumbuhan ekonomi yang baik bagi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia, dengan minimnya akses infrastruktur yang layak tentu akan menyulitkan dan menghambat masyarakat untuk menjalankan aktivitasnya (pekerjaannya) yang sebenarnya dapat memberikan kontribusi bagi kemakuran bangsa. Alhasil segala kebutuhan pokok akan terus mengimpor dari negara lain, yang sebetulnya di bumi pertiwi ini sangat berlimpah akan kekayaannya.

Hal ini tentu harus menjadi evaluasi lagi bagi pemerintah, agar pemerataan dalam segi kelayakan infrastruktur dan kontinuitas dapat dinikmati oleh masing-masing warga negara khususnya yang berada di desa terpencil supaya dapat menikmati hasil yang layak dari tanahnya sendiri. Bayangkan, jika infrastruktur yang efektif ke desa dapat terealisasi, juga perhatian pemerintah terkait harga hasil bumi dan pemanfaatan hasil bumi dari desa dapat terkondisikan dengan baik, maka negara sama dengan telah mewujudkan cita-cita bangsa Welfare State (kesejahteraan negara).

Monday, January 7, 2019

Asas Equality Before The Law Dalam Perspeksif HAM


Setiap masing-masing warga Negara Republik Indonesia mempunyai hak untuk dipandang sama dan diperlakukan sama di hadapan hukum tanpa terkecuali, sekalipun dilatarbelakangi oleh strata sosialnya. Perlakuan sama yang adil dan berimbang terhadap setiap warga negara menjadi kewajiban  utama bagi seluruh instansi/aparatur negara guna menjalankan fungsinya sebagaimana yang tertuang di dalam  Pancasila sila ke-5, dan UUD NRI 1945. Tanpa adanya tebang pilih terhadap siapapun dan apapun latarbelakangnya.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5, Pancasila), selalu menjadi sorotan publik yang tak terlepas bagi sebagian orang dari berbagai kalangan. Mereka mempunyai pendapat dan argumennya masing-masing terkait keadilan berdasarkan hal-hal yang mereka kaji baik secara normatif maupun empiris, tentu hal tersebut tidak lepas dari segala kritikan dari berbagai pihak apalagi yang berhubungan dengan kontestasi politik. Pasti akan panjang ceritanya!

Negara sudah sejak dulu melindungi warga negaranya dari tindakan atau kesewenang-wenangan yang berkaitan dengan ketidakadilan. Melindungi dari segala aspek, baik dari perlindungan hak asasi manusia (HAM) maupun perlindungan di mata hukum, agar terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang berasaskan kemanfaatan. Jika kita deskripsikan mengenai keadilan, akan banyak hal yang tertaut dalam satu kata dan memiliki penjabaran yang cukup luas. Keadilan tidak hanya dapat direfleksikan melalui suatu peristiwa yang dapat dirasakan secara visual saja, namun keadilan juga harus terpenuhi secara abstrak.

Asas Equality Before The Law adalah persamaan di hadapan hukum, merupakan sebuah konsep negara hukum yang menjadikan supremasi hukum serta terlaksananya terhadap perlindungan hak asasi manusia bagi seluruh warga negara. Asas tersebut dapat mewakili implementasi keadilan secara komprehensif, meskipun asas ini sering diasumsikan terhadap para terdakwa seperti yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu; "Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang". Namun asas ini juga menjamin terpenuhinya perlindungan hak asasi manusia bagi setiap warga negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga terlaksananya isi Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yaitu meliputi hukum privat dan hukum publik.

Berdasarkan makna equality before the law, telah menjelaskan secara gamblang bahwa keadilan menjadi tanggungjawab penuh negara yang harus dapat terealisasi dengan sebaik-baiknya. Karena asas ini menjadi konsep negara hukum yang berasaskan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, yang kemudian menjelma menjadi asas kemanfaatan dengan terlebih dahulu menyertai asas kepastian hukum dan asas keadilan. Persamaan di hadapan hukum tidak hanya dikhususkan kepada terdakwa saja untuk mendapatkan perlakuan yang adil tanpa adanya perbedaan di muka sidang, tetapi persamaan di hadapan hukum juga memiliki makna bahwa setiap warga negara juga berhak mendapatkan perlakuan yang adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah dalam kehidupan sosialnya.

Dengan demikian equality before the law memiliki keterkaitan dengan terlaksananya perlindungan HAM, keduanya menjadi suatu kesatuan yang dapat menjamin terlaksananya keadilan berupa persamaan di mata hukum, dengan tidak adanya sekat di antara masing-masing individu demi terciptanya keserasian hukum yang adil dan beradab.

Namun dalam penegakan equality before the law bukan tanpa hambatan. Pada sebagian kasus yang pernah terjadi, masih terdapat oknum aparat penegak hukum yang tidak dapat memenuhi fungsi dan tanggungjawabnya dengan baik, telah terjadi deviasi yuridis yang tentu sudah merusak konsep mulia negara guna menciptakan keadilan yang seadil-adilnya.

Sunday, January 6, 2019

Individualisme Dalam Suatu Persatuan


Persatuan merupakan bentuk dari kekompakan, kerukunan, dan solidaritas yang dapat mencirikan akan kebesaran suatu kelompok bahkan suatu negara sekalipun. Indonesia menjadi salah satu negara terbesar di dunia, hal tersebut karena Indonesia mengimplementasikan rasa kesatuan dan persatuan yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang membentang luas, dengan memiliki keragaman agama, suku, dan budaya yang bisa bersatu, serta kekayaan alamnya yang tak dimiliki oleh negara lain. Itu sebabnya Indonesia pantas menyandang predikat negara terbesar dan kuat akan persatuannya.

Demi terwujudnya suatu persatuan yang konkret, maka setiap masing-masing individu dituntut untuk dapat mengasimilasi setiap perbedaan yang pluralistis. Bukan individualisme yang selalu dikedepankan. Tanpa disadari, sifat individualisme (egoisme, hedonisme, rasisme) akan menjadi masalah integral dalam membentuk suatu persatuan yang kokoh, sebab mereka hanya akan mementingkan dirinya sendiri tanpa mementingkan kepentingan bersama. Sehingga dapat memicu kesenjangan sesama anggota, bahkan saling bersinggungan. Dampaknya, akan tercerai berai yang berkepanjangan yang berefek ke masyarakat luas. Persatuan tidak hanya diasumsikan ke dalam suatu negara saja, atau pada wadah yang menaungi suatu kelompok tertentu. Melainkan persatuan juga dapat terbentuk di dalam keluarga dan rumah tangga, meski anggotanya yang relatif sedikit namun rasa saling memahami satu sama lain juga sangat dibutuhkan. Sebab di dalam keluarga, tempat di mana karakter anak mulai dibentuk, dan mereka akan mencontoh apa yang terjadi dalam keluarga itu sendiri.

Sifat individualisme dapat menjadikan orang yang satu dengan orang yang lainnya menjadi tidak seimbang akan kesadaran pentingnya solidaritas antar sesama. Teringat sebuah istilah yang dikemukkan oleh Aristoteles yaitu Zoon Politicon menerangkan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, sebuah hal yang membedakan manusia dengan hewan. Tidak hanya itu, dalam ajaran spiritual juga dijelaskan bahwa manusia (iman) sebagaimana jasad yang satu, yaitu mereka saling merasakan apa yang salah satu dari mereka rasakan (peduli satu sama lain, tidak bermusuh-musuhan). Oleh karena itu, pentingnya berafiliasi terhadap satu sama lain dapat mencirikan sebuah persatuan yang solid dan besar. Bukan besar dalam jumlah anggota, namun besar akan kesadaran manusianya untuk dapat menghormati satu sama lain.

Demikian juga dengan negara tercinta Indonesia, meskipun menjadi negara kesatuan yang besar, tetapi bukan berarti semua anggota masyarakatnya hidup dalam keadaan rukun dan kompak. Masih terdapat perselisihan antar umat beragama, yang menyatakan agama mereka menjadi agama yang paling benar/baik, dengan saling menebar kebencian, fitnah dan lain sebagainya. Tidak berhenti sampai di situ, masih terdapat juga kesenjangan sosial yang mengatasnamakan suku, budaya yang juga masing-masing menyatakan bahwa suku, budaya mereka yang paling baik. Seolah individualisme telah dilatarbelakangi oleh perbedaan, seperti ada anggapan bahwa perbedaan menjadi deviasi yang menjadikan ciri di antara mereka. Sehingga memicu perselisihan besar, yang masing-masing menciptakan Blok sendiri-sendiri. 

Seperti contoh di Amerika Serikat terkait etnis kulit putih yang selalu melakukan diskriminasi terhadap etnis kulit hitam, walaupun saat ini semua etnis mendapatkan kesetaraan sosial namun masih saja terjadi perselisihan yang mengatasnamakan perbedaan (kulit). Genosida di Myanmar, membantai muslim minoritas Rohingya dengan mengatasnamakan agama. Artinya, hampir di sebagian negara menjadikan perbedaan sebagai pembatas untuk dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan keinginannya sendiri (individualisme), tanpa mementingkan keserasian antara umat manusia.

Jangan jadikan perbedaan apapun sebagai pembatas yang dapat membatasi keharmonisan sesama manusia untuk dapat hidup rukun dan kompak dalam berbangsa dan bernegara. Sebab tanpa kita sadari, suatu persatuan yang kuat terbentuk dengan adanya perbedaan. Perbedaan yang sesungguhnya menjadikan kita satu termasuk Indonesia merdeka sebab perbedaan yang menjadikan satu kekuatan, namun individualisme lah yang akan menjadikan kita runtuh.